A.
TEORI
ARTHUR
WILLIAM BROWNELL
Salah satu
ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan
tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan
hidupnya dalam dunia pendidikan. W.A. Brownell mengungkapkan bahwa “belajar matematika harus
merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian.” Dia menegaskan bahwa
belajar pada hakikatnya suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori
yang dikemukakan brownell ini sesuai dengan teori
belajar-mengajar Gestalt, yang muncul dipertengahan tahun 1930. Menurut
teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafalan/ulangan atau yang dikenal
dengan sebutan drill adalah sangat
penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya
pengertian.
Menurut Brownell dalam belajar orang
membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon otomatis yang banyak. Maka dengan
demikian, teori drill dalam
pembelajaran matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori
stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika
khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.[1]
Aritmetika
atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana
kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut
Brownell, anak-anak yang berhasil mengikuti pelajaran pada waktu itu, memiliki
kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan
yang sangat diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal
yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.[2]
Didalamnya
terdapat dalam perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki
kekeliruan yang cukup mendasar. Hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada
abad 19 yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan
mengasah otak. Namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir,
memperoleh persepsi dan lain-lain.
B.
TEORI
ZOLTAN P. DIENES
Zoltan P. Dienes
adalah seorang matematikawan yang merumuskan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya
matematika dapat dianggap sebagai study
tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur.
Dienes menambahkan, tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang
disajikan dalam bentuk yang kongkret akan dapat dipahami dengan baik.[3] Dapat
disimpulkan bahwa, Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam
bentuk permainan akan mudah untuk membantu peranan dalam pengajaran matematika.
Menurut
Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap
tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
(1)
Permainan Bebas (Free Play) merupakan
tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak di arahkan.
Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam
interaksinya dengan lingkungan atau alam sekitar. Anak tidak hanya belajar
membentuk struktur mental, namun juga belajar struktur sikap untuk persiapan
diri dalam pemahaman konsep.
Penggunaan
alat peraga atau media pembelajaran matematika, diharapkan pada balok-balok
logika yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam (2)
Permainan Yang Menggunakan Aturan (Games), anak-anak sudah
mulai meneliti pola-pola dan keteratuaran yang terdapat dalam konsep tertentu.
Anak yang telah memahami aturan-aturan
yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi.
Dalam
mencari (3) Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
dari permainan, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikiuti. Untuk melatih anak-anak dalam
mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan
keterbukaan dalam struktur dari bentuk permainan yang satu kebentuk permainan
lainya.
(4)
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang
sejanis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi
yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak
dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika
yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang di pelajari.
(5)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan
representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan symbol matematika
atau melalui perumusan verbal.
(6)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat komsep dan kemudian merumuskan
sifat-sifat baru tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal
dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan
teorema, dalam arti membuktikan teorema.
C.
TEORI
PIERRE VAN HIELE
Semua
teori yang telah diuraikan dimuka adalah teori belajar yang dijadikan landasan
proses belajar mengajar matematika. Pada bagian ini akan disinggung bagaimana
teori belajar yang dikemukakan oleh ahli pendidikan, khusus dalam bidang
geometri.
Dalam
pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Pierre Van Hiele
(1954),
yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Pierre Van Hiele
adalah
seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri.
Hasil penelitiannya, dirumuskan, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan
pengamatan.
Menurut
Pierre Van Hiele,
tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
pengajaran yang diterapkan. Jika disusun secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih
tinggi dari sebelumnya.
1)
Tahap
Pengenalan (Visualisasi)
Dalam
tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan
namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang
dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, ia belum mengetahui ;sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh
kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi yang merupakan
bujursangkar bahwa sisinya ada enam buah, rusuknya ada 12 dan lain-lain.
2) Tahap Analisis
Pada
tahun ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri
yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada
benda geometri itu. Misalnya disaat ia mengamati persegi panjang, dapat mengetahui
bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut
saling sejajar.
3)
Tahap
Pengurutan (Deduksi Informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai
mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan
berfikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Karena,
anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali
bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adala layang-layang.
Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa
kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu semua sisinya berbentung
bujur sangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan
mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang.
4)
Tahap
Deduksi
Dalam
tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang
tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang di definisikan. Misalnya anak
sudah memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat
yang digunakan dalam pembuktian.
5)
Tahap
Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai
menyadari betapa pentingnya dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat
dari Geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi,
rumit, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa anak,
meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai tahap
berfikir ini.
Sumber buku:
H. Erman
Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA: Bandung.
Sumber
Internet:
http://thabilkharisma.blogspot.com
SIIIP
BalasHapusthanks min
BalasHapusberguna banget
jadi tambah ilmu