Cerpen


Sabtu, 14 Maret 2015

Teori Belajar Menurut Brownell, Dienes dan Van Hiele

A.    TEORI ARTHUR WILLIAM BROWNELL
Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. W.A. Brownell mengungkapkan bahwa “belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian.” Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya suatu proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan brownell ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, yang muncul dipertengahan tahun 1930. Menurut teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafalan/ulangan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Menurut Brownell dalam belajar orang membutuhkan makna, bukan hanya sekedar respon otomatis yang banyak. Maka dengan demikian, teori drill dalam pembelajaran matematika yang dikembangkan atas dasar teori asosiasi atau teori stimulus respon, menurutnya terkesan bahwa proses pembelajaran matematika khususnya aritmetika dipahami semata-mata hanya sebagai kemahiran.[1]

Aritmetika atau berhitung yang diberikan pada anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell, anak-anak yang berhasil mengikuti pelajaran pada waktu itu, memiliki kemampuan berhitung yang jauh melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang sangat diterapkan pada anak dan latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan pengaruh dari doktrin disiplin formal.[2]
Didalamnya terdapat dalam perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki kekeliruan yang cukup mendasar. Hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada abad 19 yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan mengasah otak. Namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir, memperoleh persepsi dan lain-lain.
B.     TEORI ZOLTAN P. DIENES
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang merumuskan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai study tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur. Dienes menambahkan, tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang kongkret akan dapat dipahami dengan baik.[3] Dapat disimpulkan bahwa, Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan mudah untuk membantu peranan dalam pengajaran matematika.
Menurut Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
(1) Permainan Bebas (Free Play) merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak di arahkan. Dalam tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan atau alam sekitar. Anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar struktur sikap untuk persiapan diri dalam pemahaman konsep.
Penggunaan alat peraga atau media pembelajaran matematika, diharapkan pada balok-balok logika yang membantu anak-anak dalam mempelajari konsep-konsep abstrak. Dalam (2) Permainan Yang Menggunakan Aturan (Games), anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteratuaran yang terdapat dalam konsep tertentu. Anak yang telah memahami aturan-aturan  yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi.
Dalam mencari (3) Kesamaan Sifat (Searching for communalities) dari permainan, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikiuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan keterbukaan dalam struktur dari bentuk permainan yang satu kebentuk permainan lainya.
(4) Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejanis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang di pelajari.
(5) Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan symbol matematika atau melalui perumusan verbal.
(6) Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat komsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema.

C.    TEORI PIERRE VAN HIELE
Semua teori yang telah diuraikan dimuka adalah teori belajar yang dijadikan landasan proses belajar mengajar matematika. Pada bagian ini akan disinggung bagaimana teori belajar yang dikemukakan oleh ahli pendidikan, khusus dalam bidang geometri.
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Pierre Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Pierre Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Hasil penelitiannya, dirumuskan, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Pierre Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika disusun secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir yang lebih tinggi dari sebelumnya.
1)      Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui ;sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi yang merupakan bujursangkar bahwa sisinya ada enam buah, rusuknya ada 12 dan lain-lain.
2)      Tahap Analisis
Pada tahun ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya disaat ia mengamati persegi panjang, dapat mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar.
3)      Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)
            Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berfikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Karena, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adala layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu semua sisinya berbentung bujur sangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang.
4)      Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping unsur-unsur yang di definisikan. Misalnya anak sudah memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.
5)      Tahap Akurasi
            Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari Geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai tahap berfikir ini.

Sumber buku:
H. Erman Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA: Bandung.
Sumber Internet:
http://thabilkharisma.blogspot.com

2 komentar: